10.5.08

JAKARTA – Pelaku bisnis jika ingin survive harus cerdik melihat peluang usaha sebagai kesempatan. Memang tidak setiap pebisnis mampu menerapkannya. Pengalaman dan naluri bisnis yang tajam amat membantu mereka untuk membaca situasi di mana harus masuk. Ini berlaku bukan hanya bagi pengusaha besar, namun juga pengusaha kecil. Hal yang seringkali dianggap sepele, namun hasilnya bisa dahsyat sebab pengusaha kecil dalam waktu singkat bisa menjadi besar.

Contoh gamblang untuk hal ini adalah bagaimana memanfaatkan perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Ini banyak dimanfaatkan oleh pengusaha kecil dan menengah (UKM). Di Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, banyak nelayan yang biasa membawa kue terang bulan untuk sarapan dan konsumsi mereka selama berlayar. Kue yang terbuat dari tepung terigu itu cukup mengenyangkan, rasanya enak, dan bergizi.
Selain digemari nelayan, kue terang bulan disukai juga oleh buruh pabrik sebagai menu sarapannya. Sebagai daerah industri terbesar di Jawa Timur, di “Kota Kerupuk” itu banyak pekerja pabrik. Karena itu, wajar saja jika bisnis kue terang bulan di sana melejit. Sentra produk-sinya terletak di Kemantren, sebuah desa di Kecamatan Talangan, Sidoarjo.

Menurut Wacana Mitra, yakni media UKM makanan berbasis tepung, pengusaha kue terang bulan nyaris tidak mengenal risiko rugi walau tidak laku. Sebab mereka memproduksi berdasarkan pesanan pedagang dan hebatnya penjualannya dilakukan dengan cara kontan. Kue itu dijajakan pedagang di pasar-pasar sekitar Sidoarjo, seperti Pasar Mojosari dan Pasar Krian.
Melihat bentuk dan cara pembuatannya kue ini, sederhana sekali. Bentuknya bulat kemudian dilipat dua, dengan diameter 10 cm dan tebal 3 cm. Panganan kecil ini baru berkembang di Kemantren sekitar tahun 1980-an. Salah satu pelopornya adalah Salamun, yang sekarang mampu menghabiskan 6 sak terigu sehari untuk kebutuhan produksinya.
Kue terang bulan hanya salah satu contoh bagaimana sebuah produk berbahan baku tepung terigu, bisa menjelma menjadi pilihan makanan pokok masyarakat, di samping nasi.
Dalam skala yang lebih luas, mie dan roti merupakan contoh jenis makanan berbahan baku tepung lain, yang sekarang sudah menjadi bagian dari kebiasaan konsumsi masyarakat di mana saja. Karena itu, potensi bisnis kedua jenis makanan itu terus berkembang dan banyak usaha skala kecil menengah (UKM) yang berhasil memanfaatkannya.

Berbagi Pasar
Saking besarnya potensi tersebut, pengusaha skala industri dan UKM pun tampak bisa saling berbagi pasar. Misalnya, jika mie instan banyak dikuasai industri karena membutuhkan investasi yang sangat besar pula, maka mie basah yang menjadi bahan baku mie siap saji banyak digarap oleh UKM. Begitu pula roti. Hadirnya produsen skala industri yang mengusung merek terkenal tidak menghambat produsen kelas UKM. Masing-masing sudah memiliki pasar sendiri-sendiri.

Roti misalnya yang semula berduit, tapi kemudian dengan cepat merambah ke semua kalangan.
Di sini pengusaha skala UKM banyak memberikan andil. Dengan kreativitas dan naluri bisnis, mereka lantas membuat roti yang harganya bisa dijangkau konsumen lapisan menengah-bawah.
Setelah roti, berbagai jenis makanan berbahan baku tepung terigu lain menyusul menjadi komoditi bisnis UKM. Misalnya, cake, donat, dsb. Belakangan, roti burger dan pizza pun dijajakan UKM untuk masyarakat luas, melalui gerobak mangkal atau yang bisa bergerak dengan roda kayuh menyusuri kampung-kampung.
Pada beberapa kasus, perkembangan industri jenis makanan tertentu malah menjadi pilihan utama bagi orang berkantong cekak, karena harganya lebih murah. Misalnya, di beberapa tempat, harga mie atau roti bisa lebih murah dari sepiring nasi berikut lauknya.

Pola Konsumsi
Menurut Prof. Dr. Deddy Muchtadi, pakar teknologi pangan dari IPB, dalam telaahnya mengatakan, perubahan pola konsumsi tersebut antara lain didorong oleh keterbatasan persediaan beras di satu sisi, dan pesatnya perkembangan industri makanan berbasis tepung di sisi lainnya. ”Meningkatnya daya masyarakat juga menjadi daya dorong yang cukup besar,” ungkap Deddy.
Dilihat dari sisi ini, lokomotif perubahan pola konsumsi adalah masyarakat menengah-atas. Misalnya, merekalah yang pertama kali mengkonsumsi roti burger atau pizza sehingga makanan tersebut memiliki gengsi tinggi.

Karenanya, ketika ada UKM yang memasarkan jenis makanan itu dengan harga murah, masyarakat menengah bawah bisa dengan cepat menyambarnya, antara lain karena ingin meniru pola konsumsi orang berduit. ”Lama-kelamaan, yang bicara bukan soal gengsi lagi, tapi kebiasaan,” jelas Deddy.
Perubahan pola atau gaya hidup, juga menjadi faktor pemicu terjadinya perubahan pola konsumsi. Misalnya, orang zaman sekarang semakin sibuk dengan jam kerja lebih panjang, mendorong mereka untuk memilih makanan yang penyajiannya lebih praktis tapi tetap beragam.
Apapun yang menjadi faktor pendorongnya, kecenderungan perubahan pola konsumsi yang tampak berkembang cepat itu, Deddy menilai sebagai hal positif.
(SH/gatot irawan)

sumber : sinar harapan online

Baca-Baca Yang Ini Juga

0 Komentar Teman:

Posting Komentar