Setiap hari kita bersama orang-orang di sekeliling kita. Kita ditemani pasangan hidup, anak-anak, dan sejawat dalam pekerjaan dan pergaulan. Dan di sekeliling kita tersedia berbagai sumber daya yang meleluasakan kita bekerja untuk menjangkau hidup yang layak.
Semua itu dekat dengan kita dan setiap hari bersama kita. Itulah sebagian anugerah terdekat dengan kita setelah keyakinan, identitas, kesehatan, kehormatan, kreativitas, kepandaian, keterampilan dan pengalaman. Andaikan kita mendayagunakan semua anugerah itu, tentulah benih-benih kebahagiaan tumbuh dalam hidup kita. Kebahagiaan dimulai dari diri sendiri, dari lingkup terdekat.
Tak aneh jika di dalam khazanah hadis Nabi, kita dapatkan empat pilar kebahagiaan; yaitu pasangan hidup yang saleh/salehah, anak yang berbakti, kawan pergaulan yang baik, dan sumber mata pencaharian ada di negeri sendiri (HR Ibnu ‘Asakir dan Dailami dari Sahal dan Ibnu Abi ad-Dunya).
Jalur periwayatan hadis itu tidak lepas dari kritik Al-Albani, tetapi isi pesannya tidaklah bertentangan dengan ayat-ayat Alquran.
Tentang pasangan hidup yang saleh/salehah, kita bisa menyimak surah At-Tahrim: 10. Isinya adalah peringatan bagi pasangan hidup yang tidak setia. Bakti anak-anak kepada kedua orangtua menjadi pesan pokok
Banyak ayat kitab suci Alquran yang memberikan petunjuk tentang keharusan membangun tatanan hidup bersama; salah satu strateginya termuat dalam
Dan tentang ketersediaan sumber pendapatan dari dalam negeri sendiri dipaparkan dengan contoh kasus negeri
Jika anugerah terdekat tidak dikelola, maka yang jauh lebih sulit didapat. Kasus warga
Mengapa dalam waktu singkat kemakmuran berganti dengan nestapa? Jawabnya adalah melemahnya pola hidup bersyukur.
Bersyukur itu berterima kasih. Di dalamnya terdapat pengakuan akan adanya pihak lain yang memberikan nilai tambah kepada kita. Bersyukur, dalam tingkatan selanjutnya, memberi manfaat meningkatnya produktivitas. Mau lebih dari tataran itu, bisa. Bersyukur membuat penerimanya memperlakukan nilai tambah yang diterima sebagai amanah.
Dan puncaknya, bersyukur adalah mengembangkan potensi dalam anugerah di jalan yang diridai oleh Sang Pemberi. Demikianlah Imam Ghazali menggambarkan tingkatan-tingkatan bersyukur dalam Ihya’ beliau (Juz 1: 176).
Yang dekat dari kita adalah teladan ini. Satu keluarga bertamu kepada seorang pembimbing agama di Solo. Oleh-olehnya unik yaitu beberapa ekor kambing. Tamu itu tidak berkeberatan jika kedua hewan itu disembelih dan menjadi suguhan jemaah yang setia belajar kepadanya. Tetapi tidak demikianlah yang terjadi.
Dua tiga tahun berlalu. Kambing-kambing itu telah menjadi modal peternakan yang kemudian tumbuh pesat menjadi banyak.
Pembimbing ini bersyukur. Dilihatnya potensi hewan-hewan itu menjanjikan. Timbullah kreativitasnya untuk merintis peternakan. Kambing-kambing tadi telah menambah lapangan kerja bagi sejumlah orang. Di situ sang penerima anugerah mengembangkan potensi dari hibah yang diterimanya dalam jalan yang diridai pemberinya. Produktivitas penerima meningkat karena kambing itu diperlakukan sebagai modal amanah untuk merintis peternakan.
Kini kita melihat, mendengar, dan merasakan kehadiran orang-orang di sekitar kita.
Dalam semua anugerah terdapat potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Kebiasaan berpikir positif memudahkan kita menangkap potensi itu. Itulah gerbang yang mengantarkan kita agar dapat bersyukur. Mensyukuri anugerah terdekat memudahkan benih-benih kebahagiaan tumbuh dalam kehidupan kita. - KH Drs M Dian Nafi’, pengasuh Ponpes Al-Muayyad Windan, Kartasura, Sukoharjo
0 Komentar Teman:
Posting Komentar